Cerita tentang Cinta Rupiah ini saya dapatkan kala mendapat kesempatan mengunjungi perbatasan Indonesia-Papua Nugini (PNG) di Jayapura. Ketika itu, saya yang sedang bertugas di Jayapura diajak oleh manajer hotel tempat saya menginap untuk jalan-jalan seputar kota Jayapura. Kesempatan tersebut tentu saja tidak saya sia-siakan. Ketika ditanya tempat mana yang hendak saya kunjungi, spontan saya mengatakan ingin melihat pos perbatasan Indonesia-Papua Nugini yang terletak di distrik Muara Tami, Kabupaten Jayapura.
Sekedar informasi, pos perbatasan di Jayapura ini adalah pos perbatasan yang paling ramai. Bahkan sudah menjadi destinasi wisata tersendiri bagi orang luar Papua. Kedatangan mereka ke pos perbatasan hanya sekedar ingin melihat bagaimana situasi disana secara langsung. Dan tak lupa berselfie ria di pintu gerbang perbatasan. Aktivitas para pelancong ini sudah hal yang lazim, namun tetap dengan kondisi penjagaan yang ketat oleh para petugas dan TNI yang berjaga disana.
Setelah menempuh perjalanan 2 jam lamanya dari pusat kota Jayapura, sampai juga saya di pos perbatasan yang biasa disebut Skuow ini. Jika wisatawan lain hanya diizinkan melihat-lihat saja, atau cukup mengambil swafoto di depan pintu batas Indonesia-PNG, hari itu saya beruntung bisa masuk sampai ke dalam wilayah Papua Nugini. Sebagaimana lazimnya para penyeberang antar negara, tentu saja saya diperiksa dan diinterogasi petugas keamanan dan petugas imigrasi setempat. Berkat bantuan kenalan saya yang manajer hotel tersebut, akhirnya saya diperkenankan masuk ke wilayah PNG, bahkan tanpa harus menunjukkan paspor atau visa. Hanya saja petugas keamanan berpesan supaya saya jangan terlalu lama dan masuk terlalu jauh. Karena selain tidak diijinkan (dianggap ilegal), juga karena masih rawan pergerakan OPM.

Saya pun akhirnya masuk ke wilayah PNG, tapi masih disekitar lingkungan perbatasan. Disini, terdapat beberapa kios yang menjual souvenir-souvenir PNG. Seperti topi, kaos, dan makanan serta minuman dari PNG. Penjualnya adalah penduduk asli PNG yang tinggal di sekitar perbatasan. Dengan bahasa Inggris yang patah-patah, mereka menawarkan aneka rupa barang dagangan yang mereka jual.

Yang mengherankan bagi saya, mata uang yang mereka minta adalah rupiah! Bukan dolar Australia, atau Kina yang merupakan mata uang resmi PNG. Semua barang dagangan yang mereka jual dibanderol dengan mata uang rupiah. Minuman Fanta ala PNG misalnya, dipatok seharga 25 ribu. Sementara Topi berharga 50 ribu, serta kaos olahraga timnas rugby PNG dimintai harga 150 ribu. Selain souvenir, ada satu kios yang menjual makanan. Sepotong sosis sapi bakar (ukurannya lumayan besar) dihargai 25 ribu, sedangkan iga domba bakar dihargai 50 ribu. Karena tidak mengerti konversi pertukaran mata uang, harga-harga disana dibulatkan pada pecahan 25 ribu rupiah. Saya pun membeli sebuah topi dengan logo PNG sebagai oleh-oleh.

Dalam perjalanan pulang, saya berpikir dan membandingkan, ketika ada orang luar negeri, meski itu tinggal di perbatasan negara lebih suka memakai rupiah, mengapa masih banyak orang Indonesia yang tidak bangga dengan mata uang negaranya sendiri?
Perbandingan ini saya dapatkan dari hasil pengalaman saya selama tinggal di Bali. Sebagai destinasi wisata dunia, masih banyak pelaku usaha pariwisata di Bali yang lebih memilih dan menyukai transaksi dalam mata uang asing. Terutama jika pembelinya adalah wisatawan luar negeri.
Padahal menurut UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan Kewajiban Penggunaan Uang Rupiah di Wilayah NKRI, Rupiah wajib digunakan dalam: setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau transaksi keuangan lainnya; yg dilakukan di wilayah NKRI (pasal 21 ayat 1). Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
Pengecualian: untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis (pasal 23).
Bagi saya, rupiah bukan lagi sekedar mata uang pembayaran yang sah di wilayah NKRI. Lebih jauh lagi, rupiah adalah harga diri bangsa, yang harus kita cintai dan kita jaga. Sepatutnya sebagai warga negara Indonesia, kita harus cinta rupiah daripada mata uang asing manapun juga. Karena dengan cara itulah kita bisa berkontribusi menjaga kestabilan ekonomi bangsa. Cinta rupiah tidak hanya sekedar simbolik kata-kata belaka. Tapi, juga kita wujudkan dalam perilaku ekonomi sehari-hari.