Kota Malang akhirnya memiliki museum sendiri. Namanya Museum Mpu Purwa. Museum yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta komplek perumahan Griya Shanta blok B-120 ini memiliki koleksi berbagai arca, prasasti serta artefak percandian peninggalan kerajaan Jawa kuno, terutama dari masa kerajaan Tumapel dan Singosari.
Dengan luas bangunan sekitar 1000 meter persegi, Museum Mpu Purwa tergolong kecil jika dibandingkan dengan museum benda purbakala lain seperti Museum Mpu Tantular di Surabaya. Karena itu, benda-benda bersejarah yang dipamerkan juga tidak terlalu banyak. Museum Mpu Purwa saat ini memiliki 132 koleksi benda bersejarah, namun hanya 58 benda saja yang dipamerkan di ruang Museum, sementara sisanya ditempatkan di ruang penyimpanan khusus.
Museum Mpu Purwa minimalis tapi berteknologi modern
Meski menempati bangunan yang relatif kecil, tata ruang pamer dirancang secara elegan dan modern, dipadukan dengan beragam teknologi modern untuk mendukung visualisasi dan informasi dari berbagai benda cagar budaya di dalamnya. Ketika masuk ke dalam museum, pengunjung akan langsung disapa oleh arca Brahma Catur Muka. Ini adalah salah satu koleksi masterpiece yang dimiliki Museum Mpu Purwa. Kepala sang arca memang masih utuh, tapi pahatan catur mukanya sudah aus termakan waktu. Di sebelah kirinya, rangkaian Topeng Malang dengan berbagai ekspresi seolah juga ikut menyapa pengunjung museum.

Di ruang sebelah kiri tangga, terdapat berbagai koleksi arca dan prasasti. Ada dua koleksi masterpiece yang dipamerkan di ruangan ini. Yang pertama adalah Arca Ganesha Bunulrejo. Arca Ganesha ini termasuk unik dan lain dari arca-arca purbakala sejenisnya. Pada stela (batu sandaran), terdapat tulisan-tulisan atau prasasti. Arcanya sendiri berbentuk Ganesha dengan kondisi bagian kepalanya sudah hilang. Sementara tulisan pada batu sandarannya merupakan Prasasti Kanuruhan. Arca ini ditemukan di daerah Bunulrejo, sekarang bernama jalan Hamid Rusdi, Malang. Di daerah ini dulunya terdapat sebuah patirtaan (taman pemandian). Sayang sekali, sekitar tahun 1960 bekas patirtaan itu lenyap karena sang pemilik tanah mengurugnya dan mendirikan bangunan rumah-rumah penduduk.

Prasasti Kanuruhan pertama kali dibaca oleh Louis-Charles Damais dalam bukunya EEI IV (transkripsi lengkap ada di buku Sedyawati, Edi. 1994. Pengarcaan Ganesha Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Jakarta: LIPI). Isinya kurang lebih soal penetapan daerah itu sebagai sima (daerah bebas pajak/daerah yang mengelola keuangannya sendiri) oleh Rakryan Kanuruhan kepada Sang Bulul karena yang kemudian ini telah membuat sebuah taman teratai di lokasi itu. Nama desa Bunul (Bunulrejo), tempat ditemukannya arca dan prasasti ini diambil dari nama Sang Bulul. Penanggalan prasasti ini tertulis wuku Wukir, bulan Pausha (Sasih Kanem) tahun saka 856, atau sekitar tanggal 4 Januari 935 M. Menurut arkeolog dan sejarawan, prasasti ini dapat diperkirakan berasal dari masa pemerintahan Pu Sindok, raja Mataram pertama yang secara resmi bertahta di Jawa Timur.
Karena keistimewaannya, arca Ganesha Bunulrejo ini memiliki tempat pamer tersendiri, tidak bercampur dengan koleksi benda lainnya. Seakan dimanjakan, arca Ganesha Bunulrejo bahkan memiliki layar monitor besar yang memuat berbagai informasi tentangnya. Seandainya arca-arca di museum itu bisa bicara, mungkin mereka akan saling menggunjing dan iri pada arca yang tidak memiliki kepala ini.
Beranjak masuk ke dalam, tepatnya di belakang rak tempat arca Ganesha Bunulrejo, terdapat sebongkah batu besar. Inilah Prasasti Dinoyo II. Tulisannya nyaris hilang, meski jika diamati pada jarak dekat, masih terlihat beberapa pahatan aksara. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1985 di daerah Dinoyo, tepatnya di pertigaan jalan MT. Haryono dan Jl. Gajayana. Dinamakan Prasasti Dinoyo II karena sebelumnya di daerah Dinoyo sudah pernah ditemukan prasasti lain yang dinamakan Prasasti Dinoyo I. Daerah Dinoyo, tempat ditemukannya kedua prasasti ini dulunya merupakan pusat dari pemerintahan wilayah Kanjuruhan.

Satu ruangan dengan kedua koleksi masterpiece ini juga dipamerkan beberapa arca dan benda purbakala lainnya. Sebagai pelengkap, pihak museum membuatkan beberapa ruang pajang yang berisi informasi tentang jenis dan arti dari benda-benda atau artefak purbakala. Beragam informasi ini ditata dengan desain yang menarik dan berwarna-warni sehingga pengunjung tidak akan merasa bosan saat membacanya.
Lantai dua dari Museum Mpu Purwa memiliki dua ruangan. Sisi timur serupa dengan ruangan lantai bawah yang memamerkan aneka arca purbakala. Yang menarik, di ujung ruangan ini terdapat diorama seukuran manusia beradegan seorang brahmana sedang memberi restu pada muridnya. Sayang sekali, tidak ada keterangan yang melengkapi diorama tersebut. Selain itu, juga tidak ada pagar pembatas. Beberapa pengunjung yang ikut dalam acara peresmian ini terlihat malah asik berswafoto dengan latar belakang diorama tersebut. Jika dibiarkan seperti ini, dikhawatirkan nanti ada pengunjung yang lalai dan malah merusak diorama tersebut.

Diorama Mpu Purwa
Ruangan sebelah barat merupakan ruang diorama. Sebelum melihat diorama, pengunjung akan disapa oleh arca Ganesha Tikus. Arca ini juga menjadi salah satu koleksi masterpiece Museum Mpu Purwa karena menjadi satu-satunya arca Ganesha dalam bentuk kecil, dan dirupakan sedang mengendarai wahana berupa hewan tikus.
Diorama di ruangan ini menceritakan masa kerajaan Tumapel, berdirinya kerajaan Singosari hingga Majapahit. Karena ruangan yang terbatas, diorama ini hanya menampilkan beberapa peristiwa yang mungkin dianggap penting saja. Dimulai dari kisah penculikan Ken Dedes oleh Tunggul Ametung, hingga pelarian Raden Wijaya ke Madura yang meminta bantuan pada Arya Wiraraja untuk menghadapi tentara Mongol. Sayangnya, ada satu bagian diorama yang letaknya tidak berurutan. Yakni pada adegan Perang Ganter yang mendahului adegan/kisah kerajaan Tumapel dengan Tunggul Ametung sebagai penguasanya.

Tiga diorama pertama seolah memperkenalkan pengunjung pada Mpu Purwa, sosok brahmana yang namanya digunakan museum ini. Mpu Purwa merupakan ayah dari Ken Dedes. Kecantikan Ken Dedes membuat Tunggul Ametung tergila-gila sehingga nekat menculiknya. Mpu Purwa merasa marah, sehingga mengeluarkan kutukan bahwa Tunggul Ametung kelak akan mati terbunuh. Selain marah pada Tunggul Ametung, Mpu Purwa juga merasa marah pada penduduk desa Panawijen (sekarang daerah Polowijen, Kota Malang) yang membiarkan penculikan tersebut dan tidak memberitahu dirinya. Desa Panawijen kemudian juga dikutuk Mpu Purwa supaya dilanda kekeringan bertahun-tahun lamanya. Bersama dengan brahmana lainnya, Mpu Purwa akhirnya bersekongkol dengan Ken Arok untuk menggulingkan Tunggul Ametung dan merebut kembali Ken Dedes.
Bagaimana kisah Mpu Purwa dan adegan diorama lainnya? Silahkan berkunjung ke Museum Mpu Purwa, gratis kok. Museum ini buka setiap hari Selasa sampai Minggu, mulai pukul 08.00 sampai pukul 15.30. Untuk informasi atau kunjungan rombongan, hubungi bagian informasi di nomor telpon (0341) 404515.