Pembaca yang baik selalu meninggalkan jejak
Tulisan itu saya baca di sebuah blog, yang karena saking lamanya saya jadi lupa nama dan alamat blog tersebut.
Memang tepat apa yang dituliskan blogger tersebut. Pembaca ibaratnya adalah seorang tamu. Dan tamu yang baik, selain meminta ijin sebelum masuk, dia tentu akan berpamitan pada tuan rumahnya saat hendak pulang.
Sebagai pembaca, kita memang tidak perlu meminta ijin untuk membaca. Kecuali pada keadaan atau kondisi tertentu.
Misalnya membaca buku milik orang lain, membaca koran di warung kopi, membaca buku di perpustakaan. Pokoknya, untuk membaca sesuatu yang ada bentuk fisiknya dan bukan milik kita sendiri, ijin terhadap yang punya mutlak diperlukan.
Bagaimana jika membaca tulisan atau artikel yang dimuat secara online?
Ada beberapa situasi yang membuat kita harus meminta ijin pula. Seperti pada situs-situs yang menerapkan sistem berlangganan.
Artinya, untuk membaca tulisan pada situs tersebut, kita meminta ijin pada pengelola situsnya dengan cara berlangganan. Entah itu cukup memasukkan alamat email saja hingga membayar sejumlah biaya tertentu.
Pada beberapa forum, ada thread-thread/tulisan tertentu yang oleh thread starternya (penulisnya) disembunyikan (di-hidden atau spoiler dengan kunci) dari pandangan umum. Untuk membacanya, kita harus mengetuk tombol like dulu. Ini adalah bentuk lain dari meminta ijin untuk membaca.
Selebihnya? Kita bebas membaca milyaran artikel di dunia maya. Karena bebas untuk masuk dan keluar serta bebas membaca isi dari “rumah” tersebut, seringkali kita menjadi lupa diri. Mentang-mentang tak perlu ijin untuk membaca, saat selesai membaca pun kita jadi lupa untuk berpamitan.
(Bagaimana cara berpamitan? Wong tidak ada penghuni atau penjaga rumah yang memantau kedatangan kita?)
Eh, bukankah di setiap akhir artikel di masing-masing blog atau situs ada kolom khusus bertuliskan “Leave a comment”, “Tinggalkan Komentar”, atau kadang dimodifikasi oleh pengelolanya menjadi semacam, “Jangan lupa tinggalkan komentar ya”?
Itulah tombol yang bisa kita gunakan untuk meninggalkan jejak, memberi tanda pada pemilik rumah bahwa kita pernah mampir berkunjung dan membaca tulisannya.
Selain itu, di beberapa situs blog bersama ada tombol untuk menilai isi dari artikel yang kita baca. Ini juga menjadi sarana bagi para pembaca untuk meninggalkan jejak.
Pertanyaannya, sudahkah kita meninggalkan jejak dan memberi tanda bahwa kita pernah mampir berkunjung dan membaca? Sudahkah kita menjadi pembaca yang baik?

Saya tidak ingin memberi penilaian pasti karena tidak mengetahui parameter dan ukuran untuk menjawab dan menyimpulkan pertanyaan tersebut. Hanya saja, saya punya feeling, sebagian besar dari kita yang membaca sebuah tulisan online jarang atau boleh dikata nyaris tidak pernah meninggalkan jejak.
Alangkah bedanya kebiasaan ini dengan budaya yang kita bangun saat bermain di ranah media sosial. Kita bisa dengan begitu mudahnya menekan tombol like sebagai tanda kita menyukai sebuah postingan. Kita bisa dengan begitu mudahnya menekan berbagai tombol emoji (suka, cinta, marah, sedih) di Facebook sebagai respon emosi kita pada postingan yang bersangkutan.
Lantas, mengapa kebiasaan itu tidak kita terapkan saat membaca artikel di blog? Mengapa kita tidak bisa menjadi pembaca yang baik?
Sebagai perbandingan, saya mengamati perilaku pembaca di beberapa situs blog bersama luar negeri. Tingkat keterlibatan (engangement) dengan jumlah pembaca nyaris berbanding lurus.
Artinya, jumlah yang menilai dan atau berkomentar di artikel hampir sama banyaknya dengan jumlah pembaca yang tercatat. Misalnya, dari 600 pembaca yang tercatat di mesin hitung situs tersebut, hampir 90 persen-nya meninggalkan jejak dengan memberi penilaian atau berkomentar.
Begitu pula di beberapa blog pribadi milik blogger luar negeri. Kolom komentarnya ramai dengan percakapan dan diskusi tentang topik yang sedang dibahas. Yang membaca bukan lagi silent reader, tapi mereka adalah responsible reader danpembaca yang baik.
Kondisi ini sangat kontras dengan apa yang saya amati di blog-blog pribadi lain yang pernah saya kunjungi. Misalnya, pada sebuah artikel menurut mesin hitungnya, sudah dibaca sebanyak 200 kali. Tapi yang memberi rating/nilai dan yang berkomentar bisa dihitung dengan jari.
Apakah ada gunanya kita menilai dan mengomentari sebuah artikel?
Jelas ada manfaatnya. Dari sisi teknis, memberi nilai atau berkomentar di blog berarti kita sudah membantu rating blognya. Membantu tingkat engangement yang menjadi salah satu poin penting dari algoritma mesin pencari. Silahkan baca tips-tips tentang SEO dan pasti salah satunya membahas tentang betapa pentingnya engangement itu.
Dari sisi moral, dengan menilai dan memberi komentar, itu sama artinya dengan kita menghargai jerih payah dari penulis. Kita sudah memberi dukungan bagi penulis untuk terus berkarya, terus menelurkan ide-idenya dalam bentuk tulisan. Sungguh mulia bukan?
3 motivasi saat meninggalkan jejak membaca
Di satu sisi, saya juga mengamati sebuah fenomena yang menarik pada apa yang menjadi motivasi pembaca blog saat menilai atau mengomentari sebuah artikel. Menurut pengamatan dan pengalaman pribadi saya dalam menilai artikel, ada tiga motivasi utama: Jujur, pertemanan, dan hutang budi.
Misalnya saat membuka sebuah situs yang ada fitur penilaiannya, saya memang tidak membaca semua artikel yang ditampilkan. Alasan utamanya sih klasik, menghemat kuota internet. Saya hanya membaca artikel yang menurut insting saya memang patut dan menarik untuk dibaca. Insting ini bekerja saat pertama kali membaca judul artikelnya.
Menilai artikel dengan jujur
Selesai membaca, barulah saya bisa memutuskan, bagaimana respon penilaian saya. Jujur, dalam arti harfiah ya jujur. Kalau menarik, saya klik tombol Menarik. Kalau menurut saya itu aktual, inspiratif, bermanfaat, menghibur, ya saya klik tombol nilai yang dimaksudkan.
Saya nyaris tidak pernah menilai sebuah artikel itu tidak menarik, kecuali satu kali; Ketika kursor smartphone saya tiba-tiba bergeser tidak sengaja! Karena sudah terlanjur kepencet, saya meminta maaf pada penulis dan menjelaskan apa sebabnya saya memberi penilaian tidak menarik.
Dalam penilaian secara jujur ini, yang saya lihat adalah isi dan kualitas tulisannya, bukan siapa penulisnya. Apakah itu senior yang sudah lama menulis di blog, atau blogger yang baru bergabung. Apakah itu penulis yang sudah punya nama, atau pupuk bawang yang baru belajar menulis. Apakah itu teman sendiri, atau orang lain yang kerap berbeda pandangan politik.
Menilai artikel karena pertemanan
Motivasi kedua saat menilai artikel di blog lain adalah berdasarkan pertemanan. Alasan utamanya, yah jujur saja seringnya karena nggak enak hati soalnya yang menulis teman sendiri.
Lagipula artikelnya juga dipromosikan di depan hidung. Di chat via WA atau dibagikan di grup pertemanan. Jika sudah seperti ini, sulit rasanya untuk bersikap obyektif. Mau dinilai tidak menarik, nanti putus hubungan pertemanan. Berabe kan?
Menilai artikel karena hutang
Motivasi ketiga, dan saya yakin ini motivasi yang paling tidak bisa dielakkan, adalah karena hutang budi. Saat ada pembaca menilai dan berkomentar di artikel yang saya tulis, saya seolah merasa berhutang nilai dan komentar pula. Rasanya tidak adil jika dia menulis, saya tidak mampir untuk membaca dan menilai serta berkomentar balik.
Mungkin bagi orang lain itu tidak bisa dianggap sebagai hutang. Tapi bagi saya pribadi, itu adalah hutang yang harus dibayar. Hutang nilai dibayar nilai, hutang komentar dibayar komentar.
***
Setiap penulis tentunya ingin tulisannya dibaca orang lain. Setiap pembaca juga ingin dianggap sebagai pembaca yang baik bukan?
Dengan meninggalkan jejak ketika sudah selesai membaca, setidaknya kita sudah membesarkan hati penulis tersebut bahwa tulisannya memang benar-benar sudah dibaca, dan bukan karena dia melihat berdasarkan ukuran metrik blognya. Jadilah pembaca yang baik.
Artikel ini sudah ditayangkan di Kompasiana dengan judul yang sama.
[…] bacalah ulang tulisan yang sudah dibuat. Dengan pikiran yang sudah jernih, kita akan bisa melihat, mana […]
[…] https://warungwisata.com/pembaca-yang-baik/ […]